Bagian depan rumahnya ia jadikan ruang pajang sekaligus workshop, di salah satu dindingnya terdapat papan gantung yang memuat potongan artikel dari beberapa media dan sejumlah foto pameran baik di dalam maupun luar negeri. Terakhir, beberapa pekan berselang, Oom Pah dan istri berikut rombongan baru saja kembali dari Jepang atas undangan pihak swasta. Keahlian yang ia miliki adalah sesuatu yang kian langka hari-hari ini. Ia pun berupaya untuk melestarikan alat musik tradisional ini dengan mengajarkan teknik pembuatannya kepada generasi yang lebih muda.
Bagi saya pribadi, alat musik ini terlihat amat cantik dan anggun. Dibantu dengan tiga orang lain, termasuk anaknya, Oom Pah membuat beragam ukuran sasando. Yang kecil dan kecil sekali dijadikan sebagai souvenir atau pajangan sementara yang berukuran sedang hingga besar selain mempunyai nilai estetis jenis ini dapat pula digunakan untuk menghasilkan nada. Dengan kata lain, kita bisa memainkannya untuk bermusik. Sulitkah mempelajarinya? Hm, ini tampaknya relatif.. Oom Pah bercerita bahwa dulu sempat ada seorang anak berusia 5 tahun yang sebelumnya telah mahir bermain organ dapat memainkan alat musik khas Pulau Rote ini setelah enam kali sesi latihan. Wow, bagi saya yang bahkan tak bisa memetik gitar rasanya akan butuh berbulan-bulan untuk bisa sedikit mahir memainkan sasando.
Selain tetap memproduksi sasando dalam ukuran miniatur untuk kepentingan komersial, Oom Pah juga melakukan beberapa pengembangan. Salah satunya dengan menempatkan spul pada batang senar sehingga sasando dapat dihubungkan dengan amplifier. Jadi selain dimainkan secara akustik, sasando kini bisa dinikmati secara elektrik seperti halnya gitar. Salah satu pengrajin sempat terdengar memainkan sebuah lagu dari grup Samsons! Yang cukup mengejutkan ialah ketika saya bertanya tentang harganya. Sebuah sasando 32 senar dengan spul harganya mencapai satu juta rupiah, mahal juga ya.. Ada pula sasando 32 senar tanpa spul dengan ukuran yang lebih kecil dijual dengan harga Rp 260,000. This one is pretty reasonable for me. Namun jenis yang pertama tadi memang masterpiece, serba prima. Ukuran yang besar, plug-in, daun lontar yang dibalur vernis sehingga terhindar dari jamur, pokoknya mantap! Sementara itu, sasando dalam ukuran miniatur dijual dengan harga jauh lebih murah, tidak lebih dari Rp 100,000.
Oya, selain sasando, di tempat ini dibuat pula ti’i langga, artinya tutup kepala. Bentuknya amat unik, terlihat seperti tanduk unicorn. Bahannya juga berasal dari daun lontar yang dianyam. Tanpa adanya unsur kecintaan akan budaya, sulit untuk menjamin bahwa karya-karya seni tradisional seperti ini masih dapat dinikmati oleh generasi mendatang.