Friday, May 18, 2007

Sasando Rote

Buah jatuh tak jauh dari pohon. Ilustrasi ini cukup bisa menjelaskan apa yang ditekuni Jeremias August Pah (68) sejak tahun 1986. Membuat sasando, telah dilakukan tak hanya oleh orang tua Oom Pah, panggilan akrab Jeremias, namun juga oleh kakeknya. Hari libur tempo hari saya manfaatkan untuk menyambangi rumah Oom Pah yang terletak di Jalan Timor Raya Km.22 Desa Oebelo.

Bagian depan rumahnya ia jadikan ruang pajang sekaligus workshop, di salah satu dindingnya terdapat papan gantung yang memuat potongan artikel dari beberapa media dan sejumlah foto pameran baik di dalam maupun luar negeri. Terakhir, beberapa pekan berselang, Oom Pah dan istri berikut rombongan baru saja kembali dari Jepang atas undangan pihak swasta. Keahlian yang ia miliki adalah sesuatu yang kian langka hari-hari ini. Ia pun berupaya untuk melestarikan alat musik tradisional ini dengan mengajarkan teknik pembuatannya kepada generasi yang lebih muda.

Bagi saya pribadi, alat musik ini terlihat amat cantik dan anggun. Dibantu dengan tiga orang lain, termasuk anaknya, Oom Pah membuat beragam ukuran sasando. Yang kecil dan kecil sekali dijadikan sebagai souvenir atau pajangan sementara yang berukuran sedang hingga besar selain mempunyai nilai estetis jenis ini dapat pula digunakan untuk menghasilkan nada. Dengan kata lain, kita bisa memainkannya untuk bermusik. Sulitkah mempelajarinya? Hm, ini tampaknya relatif.. Oom Pah bercerita bahwa dulu sempat ada seorang anak berusia 5 tahun yang sebelumnya telah mahir bermain organ dapat memainkan alat musik khas Pulau Rote ini setelah enam kali sesi latihan. Wow, bagi saya yang bahkan tak bisa memetik gitar rasanya akan butuh berbulan-bulan untuk bisa sedikit mahir memainkan sasando.

Selain tetap memproduksi sasando dalam ukuran miniatur untuk kepentingan komersial, Oom Pah juga melakukan beberapa pengembangan. Salah satunya dengan menempatkan spul pada batang senar sehingga sasando dapat dihubungkan dengan amplifier. Jadi selain dimainkan secara akustik, sasando kini bisa dinikmati secara elektrik seperti halnya gitar. Salah satu pengrajin sempat terdengar memainkan sebuah lagu dari grup Samsons! Yang cukup mengejutkan ialah ketika saya bertanya tentang harganya. Sebuah sasando 32 senar dengan spul harganya mencapai satu juta rupiah, mahal juga ya.. Ada pula sasando 32 senar tanpa spul dengan ukuran yang lebih kecil dijual dengan harga Rp 260,000. This one is pretty reasonable for me. Namun jenis yang pertama tadi memang masterpiece, serba prima. Ukuran yang besar, plug-in, daun lontar yang dibalur vernis sehingga terhindar dari jamur, pokoknya mantap! Sementara itu, sasando dalam ukuran miniatur dijual dengan harga jauh lebih murah, tidak lebih dari Rp 100,000.

Oya, selain sasando, di tempat ini dibuat pula ti’i langga, artinya tutup kepala. Bentuknya amat unik, terlihat seperti tanduk unicorn. Bahannya juga berasal dari daun lontar yang dianyam. Tanpa adanya unsur kecintaan akan budaya, sulit untuk menjamin bahwa karya-karya seni tradisional seperti ini masih dapat dinikmati oleh generasi mendatang.

Putak


Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, saya diberi tahu oleh guru tentang makanan pokok masyarakat Indonesia. Di Jawa masyarakat mengkonsumsi beras, di Madura penduduknya menjadikan jagung sebagai makanan utama, sementara sagu dikonsumsi oleh mayoritas warga di Irian Jaya. Baru sejak tinggal di NTT inilah saya mengenal lebih dekat tanaman sagu. Istilah tanaman sagu lebih tepat digunakan daripada pohon sagu mengingat batangnya tidak memiliki kambium.

Di Desa Naibonat, Kecamatan Kupang Timur, sejumlah warga menjual lempengan sagu yang disebut putak. Umumnya putak yang dijual tersebut digunakan sebagai pakan ternak seperti sapi, kambing dan babi setelah dicacah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Satu lempeng putak dijual seharga dua ribu rupiah. Bapak Arnolus Bolu yang berasal dari Rote merupakan salah satu penjual putak yang saya temui. Ia tinggal bersama istri dan anaknya di rumah yang terletak persis di belakang gubuk yang ia jadikan tempat meletakkan tatanan putak dan menyimpan potongan batang sagu yang disebut molak. Dari satu batang sagu atau goang dihasilkan 8 hingga 10 molak dan dari satu molak dapat diperoleh 25 lempeng putak. Dalam sehari putak yang terjual biasanya sekitar 20 lempeng. Profesi berjualan putak telah dilakoni Pak Arnolus sejak tahun 2001, sebelumnya ia hanya mengandalkan hasil berladang untuk memperoleh nafkah. Kini ia masih memiliki sejumlah ladang namun hasilnya kurang memadai lagi.

Cukup banyak juga ternyata manfaat tanaman sagu. Yang biasa dikonsumsi manusia ialah sagu yang telah dihaluskan menjadi tepung. Selain itu dari sagu dihasilkan pula air gula atau nira yang produksinya jauh lebih besar dari nira tanaman lontar. Bedanya hingga tiga kali lipat, menurut Pak Arnolus. Bila kita terlambat mengambilnya, nira dari sagu akan tumpah dan terbuang ke tanah, ini dikarenakan tingkat produksinya yang tinggi. Walau dapat diminum langsung, nira sagu lebih sering dijadikan gula lempeng (sejenis gula merah di Jawa). Daun sagu dapat digunakan sebagai atap rumah atau gubuk, seperti halnya pada atap gubuk milik Pak Arnolus.

Tuesday, May 15, 2007

Senja


Saya begitu menyukai hal yang satu ini: menikmati senja. Terbenamnya matahari adalah sesuatu yang rutin terjadi namun tiap kejadiannya memberikan kesan berbeda. Saya tidak selalu pulang kerja pada jam yang sama setiap harinya, lebih sering saya meninggalkan kantor selepas ibadah Maghrib. Sore itu saya pulang sekitar pukul 17.40, sebuah pemandangan di cakrawala membuat saya menghentikan laju motor yang tengah dikendarai. Matahari senja dalam bundarnya yang sempurna terlihat bergerak turun dan kian tenggelam di ufuk barat. Pergerakan relatifnya--karena sesungguhnya bumi yang berputar--terkesan cukup tergesa, membuat saya tak sempat mengabadikan momentum tersebut. Saya berencana kembali ke tempat ini keesokan harinya pada waktu yang lebih awal.

Seperti yang telah direncanakan, pada hari berikutnya saya kembali ke tempat semula. Menikmati jingganya langit adalah satu hal, mengabadikan suasana adalah hal lain. Untuk yang kedua kita perlu sedikit berencana, sementara yang pertama sifatnya lebih spontan. Dan kali ini saya cukup mujur bisa mendapatkan keduanya.

Pada beberapa waktu silam saya juga sempat mengambil gambar suasana sore hari di sejumlah sudut Kota Kupang. Sebuah lapangan beraspal yang terletak persis di depan rumah dinas Bupati Kupang, populer dengan sebutan Hollywood, adalah tempat yang ramai dikunjungi pada saat sore hingga awal malam. Puncak keramaian terjadi di malam Minggu serta malam-malam hari libur.

Kesempatan lain saya menyempatkan duduk-duduk santai di depan hotel Kupang Beach yang letaknya menghadap ke laut. Anak-anak kecil terlihat bermain air dalam keriaan yang tak terusik. Hanya rasa syukur yang terpanjat mendapati diri dengan kelengkapan dan kesempurnaan indera sehingga semua ini dapat dinikmati.
Saya lantas teringat sesuatu. Diantara sunset yang paling berkesan yang pernah saya lihat ialah sunset di KM Nol, Pulau Sabang, pada April 2005. Selain lokasinya yang unik (kapan lagi saya bisa ke sini?), suasananya begitu breathtaking.. subhanallah. Saya merasa begitu kerdil..

Monday, May 14, 2007

Lopo

Ini masih tentang Timor Tengah Selatan (TTS). Bila kita melakukan perjalanan dari Kupang ke Atambua melalui darat, begitu memasuki wilayah Kabupaten TTS kita akan banyak menjumpai rumah bulat yang beratapkan alang-alang kering. Sebutan lokalnya ialah Lopo.

Sebagian besar warga memiliki lopo yang letaknya terpisah dari rumah utama. Lopo digunakan sebagai tempat berkumpul dan pada bagian atasnya dimanfaatkan untuk tempat menyimpan bahan makanan seperti jagung dan padi. Ada pula lopo yang digunakan khusus untuk menyimpan bibit tanaman pangan dimana bibit disisihkan dari hasil panen sebelumnya. Untuk lopo jenis ini, atapnya menyentuh hingga ke tanah karena di dalamnya dijadikan tempat pengasapan bibit, ini merupakan teknik tradisional penyimpanan bibit agar dapat bertahan hingga musim tanam berikutnya.

Sebagai tempat penyimpanan bahan makanan, lopo harus aman dari hama seperti tikus. Untuk itu pada keempat tiang penyangganya dibuat semacam cincin untuk mencegah tikus yang hendak merayap naik. Di sebagian besar wilayah TTS, terutama yang terletak di pegunungan, atap lopo dibuat dari alang-alang, hal ini turut memberikan rasa hangat di bawah naungan. Sementara lopo yang berada di sekitar pantai biasanya menggunakan daun goang atau sagu sebagai bahan penyusun atap. Dengan atap daun goang, lopo terasa lebih dingin dibandingkan lopo yang beratap alang-alang. Tentu saja di sekitar kawasan pesisir kita membutuhkan suasana yang lebih sejuk dibandingkan di gunung.

Perbatasan

Di penghujung Januari 2007, saat itu belum dua minggu saya berada di tanah Timor, saya berkesempatan untuk mengunjungi Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Saat di TTU itulah saya bersama tim menyempatkan diri untuk melihat perbatasan RI dan Timor Leste (TL) yang terletak di dearah Wini, Kecamatan Insana Utara. Saya pun baru mengetahui bahwa wilayah TL terbagi menjadi dua: yang terbesar ada di bagian timur Pulau Timor, sebagaimana yang selama ini saya pahami, dan ada satu wilayah lagi yang hanya terdiri atas satu distrik, letaknya berdampingan dengan batas utara Kabupaten TTU dan sebagian kecil batas utara Kabupaten Kupang.

Begitu tiba di pos jaga, kami utarakan maksud kehadiran kami kepada pihak tentara yang bertugas. Kami pun minta ijin untuk menggunakan kamera untuk kepentingan pribadi dan non komersial. Pihak tentara mempersilahkan namun tetap mendampingi. Di wilayah ini, pemisahan batas negara menggunakan batas alam berupa sungai. Persis di pertengahan jembatan Sungai Noemeto inilah garis batas negara dibuat. Saya sempat minta tolong kepada salah seorang tentara untuk mengambilkan gambar diri saya yang sejenak berada di teritori TL (saya berdiri melewati garis kuning batas negara). Sebagai kenang-kenangan, alih-alih melakukan vandalisme yang kerap saya temui di daerah wisata alam lewat tulisan ‘(Fulan) was here’..

Selain berdiri markas tentara, terdapat pula kompleks kantor polisi yang letaknya bersisian. Setelah mengambil sejumlah gambar, kami duduk sebentar seraya berbincang ringan dengan para tentara. Saya tidak sempat menanyakan dari mana saja asal mereka, tapi sebagian ada yang berasal dari Jawa serta Mataram. Sebelum beranjak pergi, saya menunaikan shalat Ashar di musala yang juga berada di lingkungan markas (ini pertama kali saya menjumpai musala di tanah Timor, di tempat-tempat lain saya menemui masjid namun belum pernah melihat musala atau langgar).

Kami mengucapkan terima kasih dan permohonan diri, disisi lain para tentara juga merasa amat senang dengan kehadiran kami karena mendapat teman baru. Hm, saya bisa membayangkan keseharian mereka—pada periode aman dan terkendali—yang relatif statis dan karenanya membuat jenuh. Namun ini sudah menjadi kewajiban dan juga pilihan.



Friday, May 11, 2007

Mobil

Untuk bisa menembus keseluruhan lokasi program kadangkala kami menemui kendala, baik itu karena faktor kendaraan, kondisi alam maupun cuaca. Terlebih lagi bila lebih dari satu faktor hadir bersamaan, semisal tanjakan yang curam disertai guyuran hujan sekaligus.

Ini sempat kami alami saat berada di daerah Amanuban Selatan, Kabupaten TTS. Saat itu kami hendak meninggalkan Desa Oepliki menuju Desa Teas. Sejak di Desa Oepliki hujan telah turun lebat sekali. Karena memang harus mengunjungi satu tempat lagi kami bertolak walaupun hujan belum mereda. Sekitar 10 menit perjalanan kami menemui sebuah tanjakan berbatu putih yang curam--ini masih ditambah faktor hujan yang kian memperlicin batuan. Pertama kali Oom Albert, nama driver kami, mencoba menekan dalam pedal gas, mobil kami hanya mampu menanjak beberapa meter saja. Dalam usaha menanjak yang kedua Oom Albert belum juga berhasil walau ancang-ancang yang diambil sudah lebih jauh dan semua penumpang telah turun. Kebetulan lewat seorang warga setempat, dia justru menyarankan agar semua penumpang tetap berada di dalam mobil. Driver kami masih penasaran: ia mencoba lagi dengan variasi persneling four-wheel 4H (high range) maupun 4L (low range). Empat kali sudah Land Cruiser kami naik-turun tanjakan namun belum berhasil. Akhirnya kami mengikuti saran bapak tua tadi, tiga orang penumpang, ditambah sang bapak tua naik ke dalam mobil. Alhamdulillah kali ini usaha kami berhasil. Dengan tekanan yang lebih besar di bagian belakang, buritan mobil menjadi tidak terpelanting saat menanjak. Alhasil tanjakan curam nan licin tersebut bisa dilewati setelah lima kali mencoba menanjak. Hmm, indigenous knowledge kah..?

Kendala lain yang lebih sering dijumpai ialah sempitnya jalan di perladangan atau areal kebun sehingga driver kesulitan untuk memutar mobil. Tapi masyarakat umumnya sangat tanggap, mereka justru mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam kebun agar lebih mudah memutar haluan. Kadang kami merasa tidak enak karena terpaksa menginjak tanaman yang berada di sisi jalan. Pernah pula kami tak dapat melanjutkan perjalanan karena jalan tertutup batang pohon yang rubuh. Terakhir, akhir April lalu, karena menggunakan mobil 4x2 wheel drive, kami terpaksa berbalik arah saat Toyota Kijang kami tidak mampu menanjak di bibir kali. Sepekan berikutnya kami kembali lagi, kali ini tentu dengan 4x4 vehicle!

The Last Mission

Minggu lalu kantor kami kedatangan tamu penting dari Jakarta Country Office: Country Director dan Head of HR Unit. Mohamed Saleheen dan Dana Yousif, kedua tamu kami tersebut, melakukan mission di salah satu desa penerima bantuan WFP. Semua staf Programme, tentu pula dengan Head of Area Office dan Programme Manager, turun ke lapangan.

Desa yang dijadikan lokasi mission bernama Desa Pukdale, terletak di Kecamatan Kupang Timur. Selain karena jaraknya yang tidak terlampau jauh dari kota, desa ini dipilih karena di dalamnya terdapat empat program bantuan sekaligus, yaitu Maternal and Child Nutrition (MCN) dan School Feeding (SF) yang merupakan bagian dari Nutritional Rehabilitation Programme (NRP), Nutrition Intervention Programme (NIP), serta Food For Work (FFW). Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui, begitu maksudnya. Lokasi yang dikunjungi pertama kali yaitu SD Inpres Pukdale. Di sekolah ini, setiap harinya 190 orang siswa menerima biskuit fortifikasi yang mampu mencukupi separuh dari kebutuhan harian micro nutrients mereka. Pemberian biskuit yang diperkaya dengan 10 vitamin dan 5 mineral ini ditujukan untuk membantu mengatasi short term hunger (sebagian besar murid pergi ke sekolah dengan perut kosong di pagi hari) dan mengurangi tingkat anemia anak sekolah.

Rombongan kami disambut dengan Tarian Teorinda dan Pengarugan (pengalungan selendang kepada tamu). Bulan Maret silam, saat saya melakukan assessment di Kabupaten TTS, saya mendapat banyak sekali selendang dari pemuka adat di sejumlah desa. Pengalungan selendang menjadi simbol penerimaan adat dari masyarakat atas kehadiran kita. Setelah berdiskusi singkat dengan pihak guru dan berbincang dengan para siswa, kami melanjutkan mission di lokasi FFW.

Tahun lalu kami mendukung pembangunan lima unit check dam di sepanjang aliran kali yang membelah lokasi persawahan masyarakat. Dampak dari kegiatan tersebut telah dirasakan secara langsung oleh masyarakat melalui peningkatan hasil panen padi. Konstruksi check dam yang sederhana turut memungkinkan mereka untuk melakukan pemeliharaan secara swadaya. Salah satu check dam yang karena ada sedikit kekeliruan teknis diawal mengalami kerusakan, telah dapat diperbaiki oleh masyarakat dalam waktu singkat tanpa bantuan pihak luar. Inilah yang akan terjadi bila masyarakat telah merasa memiliki, inisiatif akan dengan sendirinya muncul.

Rombongan lalu bertolak menuju salah satu posyandu yang tengah mengadakan kegiatan pelayanan. Dalam program MCN, melalui posyandu WFP memberikan bantuan berupa mie fortifikasi bagi ibu hamil dan menyusui, serta biskuit fortifikasi bagi anak balita. Selain itu, lembaga menyediakan pula sejumlah sarana pendukung kegiatan pelayanan dan penyuluhan. Peningkatan kapasitas kader adalah hal yang penting karena mereka menjadi penghubung yang vital antara program dan penerima manfaat. Tak jauh dari posyandu, kami mengakhiri mission kali ini. Rombongan mengunjungi rumah salah satu penerima Dried Skimmed Milk (DSM). Paket DSM yang terdiri dari susu skim, minyak goreng dan gula khusus diberikan bagi anak penderita gizi buruk. Ibu dari sang anak mengatakan bahwa sejak menerima paket DSM 4 bulan lalu anaknya telah mengalami penambahan berat badan lebih dari 3 kg. Untuk anak dengan gizi buruk, ini merupakan progress yang baik.

Bagi Country Director, mission kali ini akan menjadi mission terakhirnya di NTT karena dalam waktu tak lebih dari tiga bulan beliau akan mengakhiri tugas yang telah diembannya selama lima tahun, untuk menempati post baru di Sri Lanka. Selamat mengemban tugas baru, Pak Saleheen!