Saturday, May 5, 2007

Pak Masa

Nama lengkap bos saya adalah Masanobu Horie. Dia berasal dari Kyushu, Jepang. Sudah hampir 2 tahun dia menjadi Programme Officer (P-3) di Kupang Sub Office. Kemampuan berbahasa Indonesia-nya dapat dikatakan sudah cukup baik, bahkan dia lebih terbiasa dengan bahasa Kupang dalam berinteraksi dengan staf lokal. Saat melakukan monitoring di lapangan, dia tak lagi memerlukan penerjemah untuk berdiskusi dengan beneficiaries. Pak Masa pun kadang bercanda dengan menggunakan kosa kata lokal.

Sebelum bergabung dalam WFP, Pak Masa bekerja untuk salah satu perusahaan kontraktor besar asal Jepang. Dalam dirinya, ada bibit mental pemberontak. Dia akan memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai suatu yang baik, walau dengan itu dia harus mengorbankan banyak hal. Salah satu contoh yang paling ekstrim ialah saat ia hendak menikahi wanita yang kini menjadi istrinya. Adanya sejumlah perbedaan, terutama latar belakang sosial, antara Pak Masa dan calon istrinya membuat orang tua dari kedua belah pihak tidak berkenan dengan rencana pernikahan tersebut. Namun kedua anak muda tersebut telah membulatkan tekad untuk saling mengikatkan diri: Orang tua Pak Masa memutuskan hubungan keluarga dengan anak kandungnya sendiri. Di sisi wanita situasinya tidak terlampau parah, bahkan bisa dibilang saat ini orang tua dari pihak istri tidak lagi mempermasalahkan masa lalu tersebut. Tapi Pak Masa masih tidak (atau belum) diterima dan dianggap anak oleh ayahnya. Imbas lainnya, hubungan persaudaraan Pak Masa dan kakaknya juga kian renggang sejak pernikahan Pak Masa karena mungkin kakaknya berada di sisi yang sama dengan sang orang tua.

Dalam pekerjaan, Pak Masa juga kerap berselisih pendapat dengan koleganya, baik staf senior lokal maupun staf internasional. Saya tidak tengah membela bos saya, tapi pada banyak kejadian saya sangat bisa memahami argumen dia. Utamanya ialah hal-hal yang terkait dengan kebijakan yang akan membawa dampak pada tataran implementasi. Sebagai orang yang berada di Sub Office dan kerap terjun ke desa, praktis Pak Masa lebih memiliki 'sense' tentang karakter masyarakat dan karakter program dibanding international PO di Jakarta. First-hand finding inilah yang dia coba bawa kedalam diskusi strategis untuk dicermati, namun terkadang Jakarta tidak terlalu mempertimbangkannya. Bila sudah demikian, dia biasanya berbagi dengan kami, tidak untuk meminta dukungan (karena kapasitas kami yang memang tidak memungkinkan) tapi untuk sekadar meredakan kegeramannya.

Banyak yang telah saya pelajari dari dia, terutama tentang programme planning and management. Pun demikian, Pak Masa juga manusia yang terjerat alpa. Kadang-kadang saat dia berada ditengah permasalahan yang kompleks, fokus terhadap detail menjadi sangat berkurang. Typo error, lupa akan less prioritized appointment, those things lah..

No comments: